Kamis, 09 Oktober 2008

RUU Pornografi Mengancam Eksistensi Khazanah Kitab Pesantren

http://fahmina.or.id/id/content/view/420/1/
--------------- --------------- --------------- --------------- --------------- ---------------RUU Pornografi dan Khazanah Kitab Pesantren
Ditulis Oleh KH. Syarif Utsman Yahya
Saturday, 27 September 2008

Akhir-Akhir ini pembahasan mengenai RencanaUndang-Undang (RUU) Pornografi kembali marak diperbincangkan. Pro kontra punkembali muncul. Di luar pro dan kontra yang ada, sesungguhnya ada beberapahal yang mesti diperjelas duduk perkaranya. Sehingga tidak membingungkanmasyarakat banyak. Yang jelas semangat bahwa moral harus ditegakkan, sayakira semua pihak sepakat akan hal itu. Saya tidak sepakat akan maraknyapronografi, tetapi mengenai RUU Pornografi, ada beberapa hal yang mestidiperjelas.

Pertama, soal definisi pornografi itu sendiri. Dalam Pasal 1 RUU Pornografiyang sudah disosialisasikan oleh DPR ke beberapa daerah tgl 4 September 2008kemarin, disebutkan bahwa: "Pornografi adalah materi seksualitasyang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto,tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan,gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk mediakomunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasratseksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP, dengan memasukkandefinisi "gerak tubuh".

Dari definisi di atas, nampaknya pornografi diartikan sebagai segala sesuatuyang dapat membangkitkan ’hasrat’. Dan ini kalau mau jujur, ini akan berbedadalam tiap daerah, suku bangsa dan budaya. Ada yang merasa cukup melihatrambut saja, sudah dapat membangkitkan hasrat. Ini nampaknya semua orangtidak sama dalam mendefenisikan apa yang disebut membangkitkan hasrat.Kedua, yang dimaksud dengan penyebarluasan hal-hal yang berbau seksual ituadalah upaya penyebarluasan ’yang membangkitkan hasrat tersebut’ melaluimajalah, koran, tv dan lain sebagainya.

Dari defenisi dalam RUU ini juga bisa saja yang dimaksud penyeberluasan juga mencakup apa yang yang sudah ada dan kadung menyebar di masyarakat kita. Seperti kitab-kitab kejawen, yang saratdengan deksripsi dan narasi seksual, semisal Gotoloco dan serat CentiniSelain kitab-kitab Kejawen, kitab-kitab dan literatur yang menyebar dipesantren juga banyak yang mendeskripsikan dan menarasikan seksualitas secaravulgar, apa adanya. Sebut saja misalnya kitab Majemu’ karya Kyai Sholeh Darat yang banyak menggambarkan anatomi tubuh perempuan. Di sana disebutkanperempuan yang memiliki bibir tebal, vaginanya juga akan tebal. Kitab-kitabseperti Quratul ’Uyun yang sering dibaca kyai kalau bulan puasa, juga banyakmemuat narasi dan deskripsi tentang seksualitas.

Apakah hal semacam initermasuk pronografi atau tidak?Lebih-lebih kalau kita membaca kitab-kitab Fiqh yang menjadi bahan bacaan dipesantren, maka kita akan mendapatkan bahwa mungkin saja pembahasan didalamnya bisa didefinisikan sebagai porno dan membangkitkan hasrat. Untukmenyebut beberapa contoh saja, misalnya dalam pembahasan kitab fiqh mengenaiHadul Zina (hukuman bagi perbuatan zina), pembahasan tentang aurat dan lainsebagainya.Dalam soal zina, kitab fiqh di pesantren membahas dengan detail definisizina. Apa yang disebut zina? Salah satu definisi fiqh menyebutkan bahwa zinaadalah memasukan kemaluan laki-laki pada vagina perempuan yang bukan sahsuami istri. Diterangkan dengan jelas di sana, seberapa batas masuknya itu?Apakah ini disebut juga pornagrafi nantinya.

Dalam soal aurat perempuan juga dibahas dengan detail perbedaan auratperempuan merdeka dan perempuan budak. Aurat perempuan di depan muhrim dandi depan yang bukan muhrim. Dibahas juga apakah perempuan boleh memegang auratatau kemaluannya sendiri? Bagaimana aturannya? Apakah penjelasan mengenai hal ini dianggap membangkitkan hasrat, dan kemudian termasuk pornografi?Soal kelamin juga dibahas oleh Fiqh dalam bab Taharah (sesuci), di salahsatu pasal tentang wajibnya mandi besar, umpamamnya. Di dalam kitab I’anahal-Thalibin, dikatakan ada beberapa sebab orang mandi besar: Diantaranya (1)Keluarnya air mani, (2) Masuknya kemaluan laki-laki (penis) ke lubang depan(farji/vagina) atau lubang benlakang (dubur) seorang perempuan. Mengenaipersoalan yang seperti ini, kitab-kitab fiqh di pesantren kadangmenjelaskannya secara detail. Mungkin saja bisa membangkitkan hasrat seksualbagi yang mendengarnya. Apakah yang demikian disebut pornografi dan harusdilarang?.

Pada pembahasan batalnya puasa, di antaranya dibahas bahwa suami istri yangmelakukan persetubuhan di siang hari di bulan puasa diwajibkan menggantipuasanya berturut-turut selama dua bulan di luar bulan puasa. Yang wajibmengganti itu siapa? Dua-duanya, atau suaminya saja, atau istrinya saja?Menurut kitab fiqh di pesantren, yang wajib mengganti puasa dua bulan turut-turutadalah yang mulai merangsang dan mengerak-gerakkan (menggoyang-goyang). Nahpembicaraan seperti ini di dalam kitab fiqh kan gamblang dan vulgar sekali.Lagi-lagi apakah hal ini termasuk pornografi yang harus dilarang?

Selain di dalam kitab-kitab fiqh, di dalam kitab tafsir juga tidak jauhberbeda. Misalnya saja ketika menjelaskan ayat yang berbunyi fa’tû hartsakumanna syi’tum (datangilah ladang (perempuan) mu sesuai dengan keinginanmu).Dijelaskan menggauli istri bisa dilakukan dari depan dan dari belakang. Yang demikiandijelaskan dengan jelas. Apakah ini termasuk pornografi?Sahabat Abu Bakar ra mengatakan bahwa ketika ia bersetubuh dengan istrinya,si istri menggelepar-geleparkan pahanya. Ini diceritakan di hadits. Apakahyang demikian pornografi. Apakah hadits ini tidak boleh diceritakan?Kalau kitab-kitab dan seluruh khazanah pesantren, mulai dari fiqh, tafsirdan hadits akan dimasukkan sebagai pornografi oleh RUU pornografi, yah jelas initidak bijak dan tidak menyelesaikan masalah.

Saya sebagai orang pesantren tidak sepakat akan maraknya pornografi, tetapisaya kira RUU pornografi juga tidak perlu ada. Karena tidak akan banyakmenyelesaikan persoalan. Sebaiknya kita membicarakan RUU Pornografi inidalam konteks nasional, dalam konteks negara bangsa. Bukan dalam konteks agamasaja, karena negara kita memang bukan negara agama, tetapi negara bangsa,dengan beragam agama, keyakinan dan budaya yang ada.

Persoalanya, apakah tokoh masyarakat dan politik sekarang ini, masih memiliki kepekaan akankeanekaragaman, kebhinekaan dan rasa tanggungjawab menjaga Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI)Mulai dibicarakannya kembali isu RUU Pornigrafi ini sejatinya tidak lebihsebagai politik pengalihan perhatian dari naiknya harga BBM dan dariberbagai permsalahan dan rencana beberapa pihak yang ingin mengambil keuntungan padapemilu 2009 mendatang.

Jadi sesungguhnya RUU pornografi ini tidak perlu.Wallahu ’alam bi al-shawab

Tulisan ini hasil wawancara dengan KH. SyarifUtsman Yahya yang ditulis oleh Ali Mursyid Ali Mursyid
Staff Publikasi Media dan Pendampingan Minoritas & PesantrenDivisi Islam dan DemokrasiFahmina Institute

Tidak ada komentar: